Kapan nikah?


Pertanyaan “kapan nikah?” yang ditujukan kepada orang yang belum nikah ini menyebalkan dan enggak penting banget. Pertanyaan berikutnya adalah “kapan punya anak?”. Pertanyaan ini bukan hanya menyebalkan tetapi terkesan jahat karena ada nada merendahkan. Meskipun pertanyaan tersebut merupakan bentuk kepedulian dan basa basi yang terkadang diperlukan untuk menciptakan suatu obrolan yang asik dan mecairkan kebekuan komunikasi.

Pertanyaan tentang kapan adalah pertanyaan tentang waktu yang juga banyak di bidang pajak. “Kapan” dalam bidang perpajakan dapat berupa “saat”, “waktu”, “paling lambat”, “dalam jangka waktu”.  Saat terutang pajak menjadi salah satu materi yang sering menjadi sengketa pajak yang berujung gugatan dan banding. Sengketa Kapan harus membayar pajak dan kapan melaporkan pajak relatif sedikit. Jika Wajib Pajak dan Fiskus sudah sepakat tentang kapan saat terutang pajak, waktu pembayaran dan waktu pelaporan nyaris tidak ada sengketa. Permasalahan awalnya ada di “kapan saat terutang pajak”.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), selain ada saat terutang pajak, ada juga saat pembuatan faktur. Nah makin rumit kan. Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 (PP 44 / 2022). Sebagai berikut:

  • Faktur Pajak wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat 10), serta Pasal 24.
  • Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
  • Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak membuat Faktur Pajak

Kata “saat penyerahan” bisa mempunyai banyak penafsiran, lebih mudahnya kita lihat saja contoh saat pembuatan faktur pada Pasal 26 ayat (1) PP 44 / 2022.

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) bergerak

Contoh 1:

PT Aman menyerahkan BKP  secara langsung kepada Tuan Igna pada tanggal 15 September 2022.

Atas transaksi penyerahan BKP tersebut, PT Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 September 2022, yaitu pada saat diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli.

Contoh 2:

PT Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual BKP kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of deliveryloco gudang penjual (free on board shipping point).

BKP dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang PT Ceria pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi dengan tanggal delivery order (DO) 12 September 2022.

Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 14 September 2022.

Atas transaksi penyerahan BKP tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 12 September 2022, yaitu pada saat diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Tanggal tersebut merupakan saat pembuatan Faktur Pajak karena transaksi menggunakan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (free on board shipping point).

Contoh 3:

PT Cantik di Jakarta menjual BKP kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of delivery) franco gudang Pembeli (free on board destination).

Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 September 2022.

PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (invoice) pada tanggal 16 September 2022. Atas penyerahan BKP tersebut, PT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 September 2022 yaitu pada saat diterima oleh Pembeli atau paling lambat tanggal 16 September 2022 yaitu pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual.

  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak bergerak

Contoh 1:

Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 September 2022.

Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 Desember 2022.

Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Desember 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang.


Contoh 2:

Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang.

Contoh 3:

Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022.

Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 Oktober 2022.

Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2022.

  • Penyerahan Jasa Kena Pajak.

Contoh 1:
PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:

  1. PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2022.
  2. Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
  3. Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per tahun.

Pada tanggal 29 September 2022, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama.

Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Contoh 2:

PT Toryung mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan jasa konsultansi manajemen dan pelatihan kepada staf pemasaran PT Toryung selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pembayaran jasa konsultansi akan dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan jasa konsultansi pada tanggal 1 September 2022.

Pada tanggal 10 Oktober 2022, Firma Cerah Konsultan menerbitkan faktur penjualan (invoice) untuk menagih pembayaran jasa konsultansi bulan September 2022 sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

PT Toryung melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Oktober 2022.

Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 10 Oktober 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) (sesuai dengan nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 20 Oktober 2022.


Contoh 3:

PT Setiyakom merupakan perusahaan jasa telekomunikasi. PT Setiyakom melakukan penagihan kepada pelanggan sesuai dengan periode pemakaian selama 1 (satu) bulan. Pengumpulan data-data pemakaian dari pelanggan memerlukan waktu beberapa hari, sehingga faktur penjualan (invoice) baru dapat diterbitkan beberapa hari setelahnya.

Misalnya untuk pemakaian oleh pelanggan pada tanggal 1 sampai dengan 30 September 2022, PT Setiyakom menerbitkan faktur penjualan (invoice) untuk melakukan penagihan pada tanggal 5 Oktober 2022.

Untuk kasus ini, Faktur Pajak dibuat pada saat penyerahan jasa tersebut dinyatakan atau dicatat sebagai piutang atau penghasilan, yaitu pada akhir periode pemakaian (tanggal 30 September 2022) atau paling lambat pada saat diterbitkannya faktur penjualan (invoice) (tanggal 5 Oktober 2022). Saat pembuatan Faktur Pajak dimaksud diterapkan secara konsisten.

  • Penyerahan sebagian tahap pekerjaan (pembayaran termin).


Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Umumnya, pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan.

Dalam hal ini, PPN terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang PPN.

Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada Penerima Jasa.

Dalam hal ini, PPN terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang PPN.

Contoh:

  1. Tanggal 1 September 2022, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20% (dua puluh persen).
  2. Tanggal 3 Oktober 2022, pekerjaan selesai 20% (dua puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-1.
  3. Tanggal 1 November 2022, pekerjaan selesai 50% (lima puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-2.
  4. Tanggal 21 November 2022, pekerjaan selesai 80% (delapan puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-3.
  5. Tanggal 25 Januari 2023, pekerjaan selesai 100% (seratus persen), bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
  6. Tanggal 1 Februari 2023, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari harga borongan.
  7. Tanggal 1 Agustus 2023, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.


Pada angka 1 sampai dengan angka 4, PPN terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (uang muka dan pembayaran termin), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angka 7, PPN terutang pada tanggal 25 Januari 2023 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya.

Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya PPN sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam UU PPN.

Cara penentuan saat pembuatan Faktur Pajak tersebut di atas juga berlaku untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang penerimaan pembayarannya terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP tersebut.

Saat terutang pemotongan PPh diatur dalam Pasal 15 PP No. 94 Tahun 2010 yang berbunyi sebagai berikut,

  1. Pemotongan PPh oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) UU PPh dilakukan pada akhir bulan:
  2. terjadinya pembayaran; atau
  3. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

  • Pemungutan PPh oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UU PPh, dilakukan pada saat:
  • pembayaran; atau
  • tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
  • Pemotongan PPh oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh, dilakukan pada akhir bulan:
  • dibayarkannya penghasilan;
  • disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
  • jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

  • Pemotongan PPh oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh, dilakukan pada akhir bulan:
  • dibayarkannya penghasilan;
  • disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
  • jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Sebagai informasi tambahan, bahwa  PP No. 55 Tahun 2022  hanya mencabut Pasal 2A PP 94 / 2010 (Pasal 72 PP No. 55 Tahun 2022), Dengan demikian, Pasal 15 PP 94 / 2010 masih berlaku.

Kata atau frasa atau kalimat ini bisa membingungkan,

  1. PPh Pasal 21: “terjadinya pembayaran” dengan “terutangnya penghasilan yang bersangkutan”.
  2. PPh Pasal 22: “pembayaran” dengan “tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan”.
  3. PPh Pasal 23 / 26: “dibayarkannya penghasilan” dengan “disediakan untuk dibayarkannya penghasilan” dan “jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan”.

Untuk dapat memahami “terutangnya penghasilan yang bersangkutan” pada PPh Pasal 21, bisa melihat salah satu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-011317.10/2020/PP/M.XIA Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa sesuai Pasal 15 ayat (1) PP No. 94 / 2010, Pengadilan Pajak berpendapat Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dilakukan pada akhir bulan terutangnya penghasilan atau akhir bulan pembebanan biaya akrual upah dan gaji dan akrual bonus.

Saat terutang PPh Pasal 22 bisa berbeda. Untuk pastinya harus lihat peraturan PPh Pasal 22.

Penjelasan Pasal 15 ayat (3) dan (4) PP 94 / 2010 dapat mengurangi kebingungan tersebut. Isi penjelasan tersebut, pada dasarnya sebagai berikut:

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 / 26 UU PPh adalah pada

saat pembayaran,

saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan

jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa),

saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan”:

  1. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka PPh Pasal 23 / 26 UU PPh terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

  • untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date).
    Dengan perkataan lain pemotongan PPh atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 / 26 UU PPh baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.


Give Me an Example


Dari 1 jam  lebih wawancara seorang koreponden teknologi BBC, James Clayton dengan orang ke-2 terkaya di dunia, Elon Musk di kantor pusat Twitter, San Fransisco pada Rabu, 12 April 2023 terdapat momen yang viral karena ketidakmauan atau mungkin juga ketidakmampuan Clayton menjawab pertanyaan sederhana Elon Musk, give me an example. Pertanyaan ini terkait pernyataan Clayton tentang meningkatnya hateful content di Twitter. Clayton terlihat gelagapan mencari jawaban yang dapat memuaskan Elon. Elon ingin contoh konkret, Clayton malah menjawab hal lain.

Pertanyaan ini sebenarnya sangat wajar karena sejak Elon mengambil alih Twitter, konon hate speech meningkat. Meksipun, Elon mengklaim bahwa hate speech impression sudah turun secara dramatis sejak ia mengambil alih Twitter, tetapi BBC telah menganalisis bahwa sekitar 1.100 akun yang diban (dilarang) dikembalikan lagi setelah Elon mengambil alih Twitter.

Pertanyaan sederhana Elon juga wajar karena definisi hate speech tidak diatur di Amerika Serikat, mengingat hak asasi kebebasan berbicara dilindungi oleh konstitusi Amerika Serikat. Hal ini berbeda dengan beberapa negara, antara lain Jerman yang mengharuskan platform media sosial untuk menghapus hate speech dalam periode tertentu setelah menerima pengaduan dan denda sampai dengan 50 juta euro akan dikenakan jika platform media sosial gagal memenuhinya. Saat ini Jerman sedang melakukan penyelidikan untuk mengenakan denda kepada Twitter karena menurut Kantor Kehakiman Jerman, Twitter memiliki banyak indikasi kegagalan dalam penanganan pengaduan Twitter di Jerman.

UN Strategy and Plan of Action on Hate Speech  telah mendefinisikan hate speech sebagai any kind of communication in speech, writing or behaviour, that attacks or uses pejorative or discriminatory language with reference to a person or a group on the basis of who they are, in other words, based on their religion, ethnicity, nationality, race, colour, descent, gender or other identity factor. Saat ini hate speech berkembang sangat liar karena adanya media sosial dan kemudahan untuk mengshare suatu informasi.

Kembali ke judul, Sebuah kalimat yang berulang ditanyakan Elon, example dalam berbagai kalimat. “I am asking for specific examples, and if you just said that if something is slightly sexist, that’s hatefull content does that mean that should be banned?”. Entah mengapa Clayton tidak mau menunjukkan contoh. Clayton menjawab berputar-putar, sehingga Elon memotongnya, “that’s why I am asking for example?.

Lagi-lagi, Clayton tidak memberi contoh. “Can you name one example?”, pertanyaan Elon terus bergerak dan menyudutkan, can’t name a single example?, menyudutkan lagi, you said, you’ve seen more hateful content but you can’t name a single example not even one!”, “OK, so then you must have at some point seen that you thought hateful content I’m asking for one example”.

Ketika Clayton masih terbata-bata menerangkan, Elon keukeuh dengan pertanyaan, can’t give a simple one (example)?”. Gelagapannya Clayton menjawab pertanyaan Elon, diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang kejam. “I say Sir, you don’t know what you’re talking about. Because you can’t give a single example of hateful content not even one tweet and yet you claimed that the hateful content was high”. Pernyataan ini berulang lagi, “I am literally asking for a single example and you can’t name one”. “You literally said you experienced more hateful content and then couldn’t name a single example. That’s absurd”.

Kata “example”, “contoh”, “misal”, mengingatkan saya ketika memahami suatu teori atau bahasa hukum, khususnya peraturan perpajakan. Saya termasuk orang yang sulit menggigit, mengunyah, dan mencerna kumpulan kata-kata atau rangkaian kalimat yang teoritis sejak sekolah sampai bekerja. Saya lebih mudah memahami contoh soal terlebih dahulu baru kemudian membaca teorinya.

Suatu peraturan sering menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda. Adanya contoh pada suatu peraturan akan meminimalkan terjadinya multitafsir. Semakin banyak contoh semakin mudah memahami suatu peraturan Pemahaman teori menjadi komprehensif jika sudah mampu memahami teori dan contoh-contoh yang beraneka ragam. Konstruksi teori atau peraturan lebih mudah difahami dari depan dan belakang, kanan dan kiri, atas dan bawah, dalam dan luar jika terdapat banyak contoh.

Jika Anda melulu bicara teori tanpa contoh akan terdengar absurd, bahkan mengutip ucapan Elon, you don’t know what you’re talking about. Untunglah pada beberapa peraturan pajak terdapat banyak contoh-contoh baik dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sampai ke peraturan dibawahnya. Meskipun pengertian “banyak” ini sangat relatif.

Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) masih menyajikan contoh-contoh. Selain contoh, terkadang menggunakan kata “antara lain”. Berikut ini pasal-pasal yang ada contohnya,

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)Pasal 8 ayat (6)Pasal 25 ayat (1)Pasal 25 ayat (9)Pasal 27 ayat (5d)Pasal 27 ayat (5f)Pasal 32A ayat (2)Pasal 44B ayat (2)  
Pajak Penghasilan (PPh)Pasal 4 ayat (1)Pasal 6 ayat (1) huruf aPasal 6 ayat (1) huruf kPasal 6 ayat (2)Pasal 7 ayat (1)Pasal 11 ayat (1) dan (2)Pasal 11 ayat (3).Pasal 11 ayat (4).Pasal 11 ayat (5).Pasal 11 ayat (7).Pasal 17 ayat (1) huruf a.Pasal 17 ayat (1) huruf b.Pasal 17 ayat (3)Pasal 17 ayat (6)Pasal 18 ayat (2)Pasal 18 ayat (3c)  
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)Pasal 5 ayat (7)Pasal 8A ayat (1)Pasal 9 ayat (4)Pasal 9 ayat (5)Pasal 9 ayat (6)Pasal 16B ayat (2)Pasal 16B ayat (3)  

Tulisan ini tidak cukup untuk membahas contoh-contoh diatas. Tetapi untuk gambaran saja, kita bisa melihat Pasal 19 ayat (1) KUP pada UU Cipta Kerja (Ciptaker). Pasal ini disebut sebagai pasal bunga penagihan yang akan dikenakan atas keterlambatan pembayaran ketetapan pajak. Isi lengkap Pasal 19 ayat (1) KUP pada UU Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai berikut, Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.

Kemudian, kita  baca Pasal 25 ayat (9) yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.

Awalnya, denda putusan keberatan adalah sebesar 50% yang diatur dalam Pasal 25 ayat (9) UU KUP Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.

Jika kita semata-mata hanya membaca batang tubuh Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (9) UU KUP, kita akan menafsirkan bahwa Wajib Pajak yang mengajukan keberatan dan belum membayar pajak atas SKPKB akan terkena sanksi adminstrasi 2 kali yaitu bunga penagihan sesuai Pasal 19 ayat (1) KUP dan denda penagihan sesuai Pasal 25 ayat (9) KUP. Penafsiran tersebut tidak akan terjadi jika kita melihat contoh pengenaan denda penagihan yang disebutkan dalam penjelasan Pasal Pasal 25 ayat (9) KUP yang berbunyi sebagai berikut,

Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) diterbitkan terhadap PT A.

Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,0O (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp2OO.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya.

Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.0O0,OO (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi administratif sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 30% x (Rp750.000.000,00 – Rp20O.000.000,00) = Rp165.000.000,00.

Demikian, contoh lebih mudah difahami dibanding kata-kata bahkan kalimat panjang.


Alat Bukti di Pengadilan Pajak


“Hey, can you make me a prince”, kata Aladdin ke jin. Apakah kalimat tersebut dapat menjadi multitafsir atau grey area. Prince itu anak sultan, anak orang kaya. Jika sampai disini jelas, tidak ada grey area. Tapi, jika kita lihat ke level berikutnya, akan menjadi grey area, misalnya sultan yang mana, di daerah mana?.

Oleh sebab itu, jin mengatakan kepada Aladdin, “there is a lot of grey area in “make me a prince””. Tegasnya lagi, “be specific with your words, the deal in detail”. Semakin spesifik dan detail suatu kata atau kalimat maka grey area menjadi semakin minimal, bahkan mungkin tidak ada grey area.

Berikutnya, rasanya tidak ada grey area di permohonan Jafar. “For my final wish, I wish to become the most powerfull being in the universe”. kalimat “The most powerfull being in the universe” sangat jelas, sejauh pemahaman kita, kita hidup diplanet bumi yang berada di solar system dalam galaxy milky way. Universe merupakan gabungan dari banyak galaxy. Jadi tidak ada ruang grey area untuk “universe” dan kata “most powerfull”. Tapi itu menurut jin, “a lot of grey area in that wish”. Menurut Aladdin, ” a genny might have a phenomenal cosmic power” dan menurut jin, “an itty bitty little space”.

Dengan contoh diatas, kita dapat memahami bahwa akan ada banyak grey area dalam banyak hal di dunia ini, termasuk alat bukti di Pengadilan Pajak. Dari kata alat bukti saja, kita dapat menyandingkan dengan kata “barang bukti”, “sengketa pembuktian”. Apakah kata tersebut sama atau tidak, bisa menjadi perdebatan panjang.

Berikut ini, tulisan (sebenarnya lebih cocok disebut rangkuman dari beberapa sumber) tentang alat bukti,

Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Pembuktian bebas sendiri artinya hakim bebas melakukan penilaian sesuai kesadaran hukum yang dimilikinya untuk mencari kebenaran (Panggabean, 2014). Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain.

Alat bukti dapat berupa:

  1. surat atau tulisan

Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :

  1. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

yang dimaksud pejabat umum, diantaranya

  • notaris;
  • hakim;
  • juru sita;
  • pegawai pencatatan sipil.

Contoh akta autentik:

  • akta pendirian perusahaan;
  • notula RUPS yang dilakukan didepan notaris dan ditandatangani notaris;
  • akta kelahiran;
  • berita acara sita
  • akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

contoh akta dibawah tangan:

  • surat perjanjian yang tidak dibuat atau ditandatangi notaris;
  • kontrak-kontrak bisnis yang tidak dibuat atau dihapapan notaris.
  • surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang;

contoh surat keputusan:

  • surat ketetapan pajak;
  • surat keputusan dari instansi pemerintah.
  • surat-surat lain atau tulisan yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.

Contoh surat-surat lain atau tulisan yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan:

  • laporan keuangan;
  • invoice;
  • ledger;
  • dokumen akuntansi;
  • dokumen transaksi
  • surat elektronik

Surat atau tulisan memiliki kekuatan sebagai alat bukti bebas, artinya Hakim tidak harus menerima atau mempercayainya sehingga perlu diperkuat dengan bukti tambahan yang bersinggungan.

Jika surat atau tulisan berbentuk foto kopi maka sesuai KUH Perdata kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan. Hal ini juga disebutkan dalam yurispendensi putusan MA bahwa surat bukti foto kopi yang tidak pernah diajukan atau tidak  pernah ada surat aslinya harus dikesampingkan sebagai sebuah bukti. Foto kopi surat tanpa disertai dokumen aslinya ataupun dikuatkan oleh keterangan saksi dan alat bukti lainnya tidak. dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan dalam hukum perdata.

Kaidah saksi sesuai KUH Pidana, Keterangan seorang saksi saja tidak cukup  untuk  membuktikan  bahwa  terangka/terdakwa  bersalah  melakukan  tindak  pidana yang  disangkakan/didakwakan  kepadanya,  yang  disebut  juga  dengan  “unus  testis  nullus testis‟. Teapi keterangan seorang saksi disertai dengan satu bukti/alat bukti sah yang lain, maka bukan lagi unus testis nullus testis.

Sebagai perbandingan, dalam pemeriksaan pajak, Dalam hal buku, catatan, dan/atau dokumen yang dipinjam berupa fotokopi dan/atau berupa data yang dikelola secara elektronik, Wajib Pajak yang diperiksa harus membuat surat pernyataan bahwa fotokopi dan/atau data yang dikelola secara elektronik yang dipinjamkan kepada Pemeriksa Pajak adalah sesuai dengan aslinya

  • keterangan ahli;

Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli.

Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.

  • keterangan para saksi;

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.

Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi dengan kriteria:

  1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang bersengketa;
  2. Istri atau suami dari pemohon Banding atau penggugat meskipun sudah bercerai;
  3. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; atau
  4. Orang sakit ingatan.

Meskipun demikian, Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua dapat meminta pihak tersebut untuk didengar keterangannya.

  • pengakuan para pihak; dan/atau

Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

  • pengetahuan Hakim

Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Daftar pustaka:

  1. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Pasal 69 s.d. 76;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1888;
  3. Putusan Mahkamah Agung nomor 3609K/PDT/1985;
  4. https://klc.kemenkeu.go.id/alat-bukti-dalam-hukum-acara-pengadilan-pajak-bagian-1-surat-tulisan/;
  5. Pasal 185 ayat (2) KUHAP;
  6. Modul Hukum Pembuktian – Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa 2019
  7. Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013

Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri di UU CK.


Dalam UU Cipta Kerja, Pengertian Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Luar Negeri (SPLN) diubah. Pentingnya kita memahami SPDN dan SPLN karena globalisasi sudah bukan lagi isu yang dibahas di seminar tetapi menjadi kenyataan yang ada di depan mata kita. Ada pelaut Indonesia yang lebih banyak di luar negeri dibanding di Indonesia, ada milenial yang lebih senang bekerja di luar negeri, ada TKI yang bekerja di luar negeri dan pulang ke Indonesia hanya ketika ada keperluan mendesak. Kita juga menyaksikan pekerja warga negara asing yang tinggal di Bali dan mendapatkan penghasilan dengan modal laptop dan jaringan internet. siapa yang berhak memajaki mereka?. disinilah kita perlu memahami SPDN dan SPLN. Memahami perbedaan SPDN dan SPLN menjadi rumit karena secara regulasi, disamping harus memahami UU Pajak, kita juga harus memahami tax traty. Mobilitas yang tinggi dari satu negara ke negada lain juga membuat negara mana yang memiliki hak pemajakan menjadi complicated.

Menjadi SPDN terasa tidak enak karena dikenakan pajak atas penghasilan diseluruh dunia (world wide income) dan repot karena harus lapor SPT Tahunan. Enaknya, tarif PPh SPDN (umumnya lebih rendah dari SPLN). SPLN dikenakan tarif PPh Pasal 26 (atau tarif tax treaty). Besarnya PPh Pasal 26 sebesar 20%

KIta lihat penjelasan Pasal 2 ayat (2):

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

  1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
  2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
  3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Pasal 2 ayat (2) UU PPh tidak diubah.

Berikut ini perubahannya:

Pasal 2 (3) UU PPh: Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Penjelasan:

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

UU CK: Subjek pajak dalam negeri adalah:

a. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing, yang:

1. bertempat tinggal di Indonesia;

2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau

3. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Subjek Pajak Luar Negeri sesuai

Pasal 2 (4) UU PPh: Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Penjelasan:

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.

UU CK: Subjek pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;

b. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

c. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:

1. tempat tinggal;

2. pusat kegiatan utama;

3. tempat menjalankan kebiasaan;

4. status subjek pajak; dan/atau

5. persyaratan tertentu lainnya yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; dan

d. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

catatan: Untuk lebih jelasnya, kita tunggu Peraturan Menteri Keuangan, semoga ada contoh-contohnya. Persyaratan tempat tinggal, pusat kegiatan utama, tempat menjalankan kebiasaan, status subjek pajak bisa menjadi sengketa, misalnya bagaimana jika tempat tinggalnya ada di beberapa negara.

Pada tahun 2019, Ditjen Pajak menerbitkan PER-2/PJ/2009 untuk memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Kita baca saja,

  1. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
  2. Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan Subjek Pajak Luar Negeri.
  3. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.
  4. Dalam hal Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

Setelah membaca UU PPh Pasal 2, kita juga perlu memahami tax treaty (P3B) tentang resident, kita lihat contoh tax traty artcel 4 tentang fiscal domicile dengan Sigapura,

  1. For the purposes of this Agreement, the term “a resident of a Contracting State” means any person who is resident in a Contracting State” for tax purposes of that Contracting State. This term shall not include a permanent establishment of a foreign enterprise which is treated as a resident for tax purposes.
  2. Where by reason of the provisions of paragraph 1 an individual is a resident of both Contracting States, then his status shall be determined in accordance with the following rules:  (a) he shall be deemed to be a resident of the Contracting State in which he has a permanent home available to him. If he has a permanent home available to him in both Contracting States, he shall be deemed to be a resident of the Contracting State with which his personal and economic relations are closest (centre of vital interests);  (b) if the Contracting State in which he has his centre of vital interests cannot be determined, or if he has not a permanent home available to him in either Contracting State, he shall be deemed to be a resident of the Contracting State in which he has an habitual abode;  (c)if he has an habitual abode in both Contracting States or in neither of them, the competent authorities of the Contracting States shall settle this question by mutual agreement.
  3. Where by reason of the provisions of paragraph 1 a person other than an individual is a resident of both Contracting States, the competent authorities of the Contracting States shall settle the question by mutual agreement.

kita bandingkan dengan P3B dengan Australia article 4 tentang residence,

  1. For the purposes of this Agreement, a person is a resident of one of the Contracting States if the person is a resident of that Contracting State under the law of that State relating to its tax.
  2. A person is not a resident of one of the Contracting states for the purposes of this Agreement if the person is liable to tax in that State in respect only of income from sources in that State.
  3. Where by reason of the preceding provisions of this Article a person, being an individual, is a resident of both Contracting States, then the status of the person shall be determined in accordance with the following rules: (a)the person shall be deemed to be a resident solely of the Contracting State in which a permanent home available to the person;(b)if a permanent home is available to the person in both Contracting States, or in neither of them, the person shall be deemed to be a resident solely of the Contracting State in which the person has an habitual abode;(c)if the person has an habitual abode in both Contracting States or in neither of them, the person shall be deemed to be a resident solely of the Contracting State with which the person’s economic and personal relations are closer.
  4. Where by reason of the provisions of paragraph 1 a person other than an individual is a resident of both Contracting States, then it shall be deemed to be a resident solely of the Contracting State in which its place of effective management is situated.

Setelah adanya UU CK, apakah pastinya PER-2/PJ/2009, apakah tetap berlaku?. untuk pastinya kita tunggu

penentuan bentuk usaha tetap juga menimbulkan sengketa, misalnya kegiatannya, legalitas kegitannya.

Putusan Pengadilan Pajak nomor Put.74041/PP/M.VIA/27/2016 tertanggal 6 September 2016, dan Putusan Mahkamah Agung nomor 1518/B/PK/PJK/2017 menjadi salah satu contoh bahwa ada beda penafsiran kegiatan.

Meskipun tidak ada perubahan tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT), kita lihat penjelasan Pasal 2 ayat (5), Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Membahas SPDN dan SPLN kemudian membahas BUT. meskipun ada kaitanya, terasa melebar dari judul.


Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan Dalam UU Cipta Kerja


Dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Peraturan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam UU PPN Pasal 9 ayat (8).

Pajak Masukan berikut yang awalnya tidak dapat dikreditkan menjadi dapat dikreditkan, Pajak Masukan tersebut adalah:

  • perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
  • perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak
  • perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak PertambahanNilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
  • perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).

Mari kita lihat perbandingannya:

Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (UU CK: dihapus)

b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (UU CK: dihapus)

e. dihapus

f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

h. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) (UU CK: dihapus);

i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak PertambahanNilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan (UU CK: dihapus);

j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) (UU CK: dihapus).

Tambahan UU PPN pada UU CK

(9a): Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.

(9b): Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan MasaPajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.

(9c): Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.

Karena pada Pasal 9 ayat (8) juga disebut-sebut Pasal 13, mari kita lihat isi Pasal 13 ayat (5) dan (6) UU PPN setelah adanya UU CK.

Pasal 13 ayat (5) UU PPN:

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

a.nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b.nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

c.jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

d.Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e.Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g.nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Pasal 13 (5) huruf b diubah menjadi:

identitas pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang meliputi: 1.nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau

2.nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan;

juga terdapat tambahan ayat 5 (a) dengant kalimat berikut,

Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 13 (6): Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.


PROSEDUR PENYELESAIAN KEBERATAN


Tulisan ini merupakan salinan dari SE-11/PJ/2014 yang saya edit supaya ga pusing bacanya..

1. Pengiriman Surat Permintaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen ke KPP

1.1. Tim Peneliti Keberatan membuat surat permintaan data, informasi, dan/atau dokumen ke KPP dan mengirimkannya paling lama:
5 (lima) hari kerja setelah berkas keberatan diterima lengkap; atau
3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam surat permintaan bukti sebagai wakil Wajib Pajak.
Tim Peneliti Keberatan membuat pemberitahuan penerimaan data, informasi, dan/atau dokumen
secara tertulis kepada Kepala KPP yang mengirimkan data, informasi, dan/atau dokumen paling lama
5 (lima) hari kerja setelah data, informasi, dan/atau dokumen diterima.
2. Analisis Sengketa terhadap Berkas Keberatan
Tim Peneliti Keberatan melakukan analisis sengketa terhadap berkas keberatan.
Hasil analisis sengketa Tim Peneliti Keberatan dituangkan dalam bentuk matrik .
Matrik sengketa keberatan dibuat oleh Tim Peneliti Keberatan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah data, informasi, dan/atau dokumen dari KPP diterima
3. Peminjaman Buku, Catatan, Data, Informasi, Permintaan Keterangan atau Bukti kepada Wajib Pajak, Peninjauan Tempat Wajib Pajak Termasuk Tempat Lain yang Diperlukan, Pembahasan dan Klarifikasi dengan Wajib Pajak
Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
1. Meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada
Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat  permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi.
Tim Peneliti Keberatan meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk
hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan
melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi

Wajib Pajak harus memenuhi permintaan peminjaman paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dikirim.

Apabila sampai dengan jangka waktu berakhir dan setelah dilakukan pengecekan kelengkapan atas berkas yang diserahkan  Wajib Pajak tersebut diketahui bahwa Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data, dan informasi, maka Tim Peneliti Keberatan membuat surat
permintaan peminjaman yang kedua paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.

Wajib Pajak harus memenuhi permintaan peminjamanpaling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman yang kedua dikirim.

Dalam hal masih diperlukan, maka Tim Peneliti Keberatan dapat membuat surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi tambahan dengan.
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan peminjaman dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi tambahan.
Surat permintaan peminjaman disampaikan kepada Wajib Pajak secara langsung dengan bukti
penerimaan dari Wajib Pajak, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Dalam hal sampai dengan batas akhir pemenuhan permintaan peminjaman, Wajib Pajak
tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya permintaan peminjaman, Tim Peneliti Keberatan:
membuat berita acara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam surat permintaan peminjaman dan tetap memproses sesuai data yang ada dan/atau diterima.
Apabila Wajib Pajak tidak menyerahkan asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak saat
keberatan atas suatu pemotongan atau pemungutan pajak, Tim Peneliti Keberatan tetap
memproses sesuai data yang ada atau diterima dan membuat berita acara dengan menggunakan.
2. Meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan
melalui penyampaian surat permintaan keterangan.
Tim Peneliti Keberatan dapat meminta keterangan secara tertulis terkait dengan materi
yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan.
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan keterangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan keterangan dikirim.
Apabila sampai dengan jangka waktu berakhir, Wajib Pajak tidak memberikan keterangan, maka Tim Peneliti Keberatan membuat surat permintaan keterangan yang kedua paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah jangka waktu berakhir.
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan keterangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat permintaan keterangan dikirim.
Dalam hal masih diperlukan, maka Tim Peneliti Keberatan dapat membuat surat
permintaan keterangan tambahan.
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan keterangan dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam surat permintaan keterangan tambahan.
Surat permintaan keterangan dikirim kepada Wajib Pajak secara langsung dengan bukti penerimaan
dari Wajib Pajak, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa
ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Dalam hal sampai dengan batas akhir pemenuhan permintaan keterangan, Wajib Pajak
tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya permintaan keterangan,
Tim Peneliti Keberatan:
membuat berita acara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam surat permintaan keterangan dan tetap memproses sesuai keterangan yang ada dan/atau diterima.
Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk
melengkapi dan/atau memperjelas Surat Keberatan sebelum Surat Pemberitahuan Untuk
Hadir disampaikan, Tim Peneliti Keberatan dapat mempertimbangkan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis Wajib Pajak tersebut dalam memproses penyelesaian keberatan.
3. Meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan.
Apabila diperlukan, kepala unit pelaksana penelitian keberatan atas nama Direktur Jenderal
Pajak dapat menugaskan Tim Peneliti Keberatan untuk meninjau tempat Wajib Pajak
termasuk tempat lain yang diperlukan dengan menerbitkan Surat Tugas Peninjauan
Lapangan dalam rangka Penelitian Keberatan.
Sebelum melaksanakan peninjauan lapangan, Tim Peneliti Keberatan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Peninjauan Lapangan dalam rangka Penelitian Keberatan.
Tim Peneliti Keberatan menuangkan hasil peninjauan lapangan dalam Laporan Hasil
Peninjauan Lapangan dalam rangka Penelitian Keberatan dengan menggunakan formulir.
4. Melakukan pembahasan dan klarifikasi mengenai hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak.
Kepala unit pelaksana penelitian keberatan atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembahasan dan klarifikasi mengenai hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan.
Tim Peneliti Keberatan membuat surat panggilan untuk melakukan pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
Surat Panggilan  disampaikan kepada Wajib Pajak paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
Surat panggilan  disampaikan kepada Wajib Pajak secara langsung dengan bukti penerimaan dari Wajib Pajak, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Tim Peneliti Keberatan menuangkan hasil pembahasan dan klarifikasi dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan
4. Permintaan Keterangan atau Bukti terkait dengan Materi yang Disengketakan Kepada Pihak Ketiga yang Mempunyai Hubungan dengan Wajib Pajak
Apabila diperlukan keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak, kepala unit pelaksana penelitian keberatan atas nama Direktur Jenderal Pajak meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, melalui penyampaian surat permintaan keterangan atau bukti.
Tim Peneliti Keberatan membuat surat permintaan keterangan atau bukti kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak
Surat permintaan keterangan atau bukti s disampaikan kepada pihak ketiga secara langsung dengan bukti penerimaan pihak ketiga yang berwenang, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Dalam hal pihak ketiga terikat oleh kewajiban merahasiakan, termasuk kerahasiaan bank, Tim Peneliti Keberatan meminta peniadaan kerahasiaan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Dalam hal permintaan keterangan atau bukti kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak belum dijawab, keberatan tetap diproses sesuai data yang ada.
5. Pembahasan dan Klarifikasi Sengketa Pajak dengan Pemeriksa, Tim Quality Assurance Pemeriksaan, Account Representative, atau Pihak Lain yang Terkait di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Kepala unit pelaksana penelitian keberatan atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembahasan dan klarifikasi mengenai hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Pemeriksa, Tim Quality Assurance Pemeriksaan, Account Representative, atau pihak lain yang terkait di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melalui penyampaian surat panggilan.
Tim Peneliti Keberatan membuat surat panggilan untuk melakukan pembahasan dan klarifikasi mengenai sengketa perpajakan.
Surat panggilan s disampaikan kepada Pemeriksa, Tim Quality Assurance Pemeriksaan, Account Representative, atau pihak lain yang terkait di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak secara langsung dengan bukti penerimaan dari KPP/unit kerja terkait, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Tim Peneliti Keberatan menuangkan hasil pembahasan dan klarifikasi dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan.
6. Permintaan untuk Melakukan Pemeriksaan untuk Tujuan Lain dalam rangka Penyelesaian Keberatan
Kepala unit pelaksana penelitian keberatan dapat menugaskan/meminta unit terkait untuk melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penyelesaian keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan dengan surat permintaan melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam proses keberatan.
Permintaan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penyelesaian keberatan dilakukan dengan memperhatikan jangka waktu dan tahapan pemeriksaan tujuan lain serta jangka waktu dan tahapan penyelesaian keberatan.
7. Pembahasan Keberatan
Sebelum Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) diterbitkan, Tim Peneliti Keberatan melakukan penelitian pemenuhan kriteria untuk dilakukan pembahasan terhadap hasil penelitian atas pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Apabila hasil penelitian pemenuhan kriteria memenuhi kriteria untuk dilakukan pembahasan, Tim Peneliti Keberatan mengusulkan kepada kepala unit pelaksana penelitian keberatan untuk dibentuk Tim Pembahas Keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Tim Pembahas Keberatan bersama dengan Tim Peneliti Keberatan melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian keberatan.
Tim Pembahas Keberatan menyusun Notula Rapat Pembahasan dan menyampaikan kepada kepala unit pelaksana penelitian keberatan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan keberatan Wajib Pajak
8. Penelitian Keberatan Wajib Pajak yang juga Mengajukan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
Tim Peneliti Keberatan melakukan penelitian apakah terdapat pemberitahuan dari Direktorat Peraturan Perpajakan II bahwa Wajib Pajak yang mengajukan keberatan juga sedang dalam proses pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP).
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan mengajukan MAP secara bersamaan namun Persetujuan Bersama belum diperoleh pada saat Surat Keputusan Keberatan diterbitkan, maka temuan pemeriksaan dalam surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan dan diajukan MAP tetap dipertahankan dalam Surat Keputusan Keberatan.
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan mengajukan permintaan pelaksanaan MAP secara bersamaan dan pelaksanaan MAP tersebut menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Surat Keputusan Keberatan diterbitkan, Persetujuan Bersama diperhitungkan dalam Surat Keputusan Keberatan.
9. Pembuatan Kertas Kerja Penelitian dan Laporan Penelitian Keberatan
Tim Peneliti Keberatan melakukan penelitian atas buku, catatan, data, dan informasi serta keterangan yang terkait dengan keberatan Wajib Pajak.
Berdasarkan hasil penelitian, Tim Peneliti Keberatan membuat Kertas Kerja Penelitian Keberatan hanya apabila terjadi perbedaan penghitungan angka antara Pemeriksa dan Tim Peneliti Keberatan.
Dalam rangka pengujian Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP dan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013, maka Tim Peneliti Keberatan membuat Kertas Kerja Penelitian Alur Dokumen yang isinya mengenai:
rincian dokumen yang diminta oleh Pemeriksa;
rincian dokumen yang diberikan maupun yang tidak diberikan oleh Wajib Pajak kepada Pemeriksa; rincian dokumen yang diminta oleh Tim Peneliti Keberatan;
rincian dokumen yang diberikan maupun yang tidak diberikan oleh Wajib Pajak kepada Tim Peneliti Keberatan; dan
dalam hal Wajib Pajak tidak memberikan dokumen, Tim Peneliti Keberatan memberikan keterangan atas tidak diberikannya dokumen oleh Wajib Pajak;
Dalam hal sengketa keberatan Wajib Pajak hanya bersifat yuridis maka Kertas Kerja Penelitian Alur Dokumen dapat tidak dibuat.
Tim Peneliti Keberatan membuat Laporan Penelitian Keberatan.
Tim Peneliti Keberatan meneliti kembali pencantuman data, meneliti kembali penulisan, dan meneliti kembali penghitungan dalam Laporan Penelitian Keberatan sebelum disampaikan kepada kepala unit pelaksana penelitian keberatan.
10. Penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, kepala unit pelaksana penelitian keberatan atas nama Direktur Jenderal Pajak meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) yang dilampiri dengan:
pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan; dan
formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan.
Tim Peneliti Keberatan membuat SPUH beserta lampirannya,
 SPUH beserta lampirannya disampaikan kepada Wajib Pajak secara langsung dengan bukti penerimaan dari Wajib Pajak, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menanggapi secara tertulis sesuai formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan yang dilampirkan dalam SPUH disertai buku, catatan, data, atau informasi yang mendukung uraian dalam tanggapan secara tertulis paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal SPUH dikirim.
Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan yang disampaikan kepada Wajib Pajak melalui SPUH tidak bersifat final.
Dalam hal Wajib Pajak menggunakan hak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak, Tim Peneliti Keberatan membuat berita acara dengan menggunakan formulir sebagai berikut:
Berita Acara Kehadiran dan Pemberian Keterangan Tertulis; atau
Berita Acara Kehadiran Wajib Pajak tetapi Tidak Memberikan Keterangan Tertulis; atau
Berita Acara Kehadiran Wajib Pajak Memberikan Keterangan tetapi Tidak Bersedia Tanda Tangan.
Dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan hak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak, Tim Peneliti Keberatan membuat berita acara dengan menggunakan formulir:
Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak dan Tidak Memberikan Keterangan Tertulis; atau
 Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak dan Memberikan Keterangan Tertulis
Dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan hak untuk hadir, proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.
11. Penerbitan Surat Tugas Pengganti
Dalam hal terjadi pergantian/perubahan susunan Tim Peneliti Keberatan pada unit pelaksana penelitian keberatan, maka kepala unit pelaksana penelitian keberatan menugaskan pegawai yang berwenang untuk melanjutkan penelitian keberatan dengan menerbitkan Surat Tugas pengganti.
Surat Tugas pengganti dibuat oleh petugas yang ditunjuk pada unit pelaksana penelitian keberatan.
12. Penerbitan dan Pengiriman Surat Keputusan Keberatan
Kepala unit pelaksana penelitian keberatan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan berdasarkan Laporan Penelitian Keberatan.
Tim Peneliti Keberatan membuat Surat Keputusan Keberatan 3 dengan peruntukan sebagai berikut:
Asli untuk unit pelaksana penelitian keberatan;
Salinan untuk Wajib Pajak, KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, dan Direktur Jenderal Pajak
Tim Peneliti Keberatan meneliti kembali pencantuman data, meneliti kembali penulisan, dan meneliti kembali penghitungan dalam Surat Keputusan Keberatan sebelum disampaikan kepada kepala unit pelaksana penelitian keberatan.
Pengiriman Surat Keputusan Keberatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
Dalam hal jangka waktu 2 (dua) hari kerja sebagaimana dimaksud pada butir 12.3 melebihi batas akhir penyelesaian keberatan, maka pengiriman Surat Keputusan Keberatan paling lambat pada tanggal batas akhir penyelesaian keberatan tersebut.
Pengiriman Surat Keputusan Keberatan dilakukan dengan cara:
Disampaikan secara langsung dengan bukti tanda terima dari Wajib Pajak;
Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Salinan Surat Keputusan Keberatan untuk KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dikirimkan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan
13. Pemberian Jawaban atas Pencabutan Surat Pengajuan Keberatan
Tim Peneliti Keberatan menerima permohonan pencabutan keberatan.
Tim Peneliti Keberatan melakukan penelitian pemenuhan persyaratan surat permohonan pencabutan pengajuan keberatan.
Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013, Tim Peneliti Keberatan mengembalikan permohonan tersebut dengan menggunakan formulir
Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013, Tim Peneliti Keberatan melanjutkan penelitian dan hasilnya dituangkan dalam Laporan Penelitian Pencabutan Pengajuan Keberatan.
Laporan dilampiri dengan surat permohonan pencabutan pengajuan keberatan.
Tim Peneliti Keberatan membuat surat jawaban sehubungan dengan permohonan pencabutan pengajuan keberatan sebagai berikut:
Surat Persetujuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan; atau
Surat Penolakan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan.
Surat  dibuat dan disampaikan kepada Wajib Pajak paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat permohonan pencabutan pengajuan keberatan diterima oleh unit pelaksana penelitian keberatan.
Terhadap permohonan pencabutan keberatan yang disetujui, tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Terhadap permohonan pencabutan keberatan yang ditolak, Tim Peneliti Keberatan tetap memproses keberatan Wajib Pajak.
Unit pelaksana peneliti keberatan menyampaikan fotokopi surat permohonan pencabutan pengajuan keberatan, fotokopi surat persetujuan permohonan pencabutan pengajuan keberatan atau surat penolakan permohonan pencabutan pengajuan keberatan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, untuk diadministrasikan dan diarsipkan oleh petugas Seksi Pelayanan.
14. Penyimpanan dan Pengembalian Dokumen
Buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy yang dipinjam dalam rangka penelitian keberatan dikembalikan setelah Surat Keputusan Keberatan dikirimkan.
Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah Surat Keputusan Keberatan dikirimkan, Wajib Pajak tidak mengambil buku, catatan, dan data yang telah dipinjamkan selama proses keberatan, Tim Peneliti Keberatan membuat surat pemberitahuan pengambilan berkas oleh Wajib Pajak.
Buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy yang menjadi dasar koreksi dan/atau perbedaan lain antara Wajib Pajak dengan Tim Peneliti Keberatan difotokopi dan diarsipkan bersama dengan Kertas Kerja Penelitian Keberatan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Kertas Kerja Penelitian Keberatan.
15. Pengiriman Data Baru atau Data yang Semula Belum Terungkap dalam Proses Pemeriksaan
Apabila dalam proses keberatan ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap dalam proses pemeriksaan dan tidak berhubungan dengan sengketa perpajakan, Tim Peneliti Keberatan mengirimkan data tersebut ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan yang bersangkutan untuk ditindak lanjuti sebagai Alat Keterangan (Alket).
16. Konfirmasi Penerimaan Surat Keputusan Keberatan
Unit pelaksana penelitian keberatan melakukan konfirmasi penerimaan Surat Keputusan Keberatan kepada KPP terkait.
Unit pelaksana penelitian keberatan mengirimkan Lembar Konfirmasi ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
KPP mengirimkan kembali Lembar Konfirmasi tersebut di atas kepada unit pelaksana penelitian keberatan paling lama 5 (lima) hari setelah Lembar Konfirmasi diterima.
Permintaan Keterangan Wajib Pajak dalam rangka Pengajuan Banding
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
Kepala unit pelaksana peneliti keberatan atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan tanggapan atas permintaan keterangan Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding. Tim Peneliti Keberatan membuat surat tanggapan atas permintaan keterangan Wajib Pajak dalam rangka pengajuan banding dan menyampaikan kepada Wajib Pajak paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal penerimaan permintaan keterangan Wajib Pajak dalam rangka pengajuan banding dan/atau dengan mempertimbangkan batas waktu pengajuan banding Wajib Pajak.
18. Lain-Lain
Ilustrasi penghitungan jangka waktu Surat Keputusan Keberatan diterbitkan pada hari Senin tanggal 4 November 2013
maka
pengiriman Surat Keputusan Keberatan paling lambat pada hari Rabu tanggal 6 November 2013.
Apabila jatuh tempo keberatan pada hari Selasa tanggal 5 November 2013, maka pengiriman Surat keputusan Keberatan paling lambat tanggal 5 November 2013.

Format Surat, BA, dll di Pengajuan Keberatan


Format surat, BA, dll dikutip dari 9/PMK.03/2013

  1. Pengajuan Keberatan (Lampiran I)
  2. Pemberitahuan Surat Keberatan yang Tidak Memenuhi Persyaratan (Lampiran II)
  3. Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan (Lampiran III)
  4. Persetujuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan (Lampiran IV)
  5. Penolakan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan (Lampiran IV)
  6. Panggilan Dalam Rangka Pembahasan dan Klarifikasi Sengketa Perpajakan (Lampiran V)
  7. Permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi (Lampiran VI)
  8. Permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi kedua (Lampiran VI)
  9. Permintaan peminjaman tambahan buku, catatan, data, dan informasi (Lampiran VI)
  10. Permintaan keterangan (Lampiran VI)
  11. Permintaan keterangan kedua (Lampiran VI)
  12. Permintaan keterangan tambahan (Lampiran VI)
  13. Berita Acara Tidak Memenuhi Sebagian/Seluruhnya Permintaan Peminjaman Dan/Atau Permintaan Keterangan (Lampiran VII)
  14. Berita Acara Pembahasan Dan Klarifikasi Sengketa Perpajakan (Lampiran VIII)
  15. Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (Lampiran IX)
  16. Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan (Lampiran IX)
  17. Format Surat Tanggapan Hasil Penelitian Keberatan  (Lampiran IX)
  18. Berita Acara Kehadiran Dan Pemberian Keterangan Tertulis (Lampiran X)
  19. Berita Acara Kehadiran Wajib Pajak Tetapi Tidak Memberikan Keterangan Tertulis (Lampiran X)
  20. Berita Acara Kehadiran Wajib Pajak Memberikan Keterangan Tetapi Tidak Bersedia Tanda Tangan (Lampiran X)
  21. Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak Dan Tidak Memberikan Keterangan Tertulis  (Lampiran XI)
  22. Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak Dan Memberikan Keterangan Tertulis (Lampiran XI)
  23. Format Surat Keputusan Keberatan Untuk Pajak Penghasilan Badan Dan Orang Pribadi  Tetapi Tidak Memberikan Keterangan Tertulis (Lampiran XII)
  24. Format Surat Keputusan Keberatan Untuk Pajak Penghasilan Pemotongan Dan Pemungutan (Lampiran XII)
  25. Format Surat Keputusan Keberatan Untuk Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas
    Barang Mewah (Lampiran XII)
  26. Format Surat Keputusan Keberatan Untuk Pemotongan Atau Pemungutan Oleh Pihak Ketiga (Lampiran XII)

Surat di Prosedur Keberatan


  1. Lampiran II.1: Surat Tugas
  2. Lampiran III.13: Surat Tugas (Pengganti)
  3. Lampiran I.1: Surat Pemberitahuan Surat Keberatan Disampaikan Tidak pada Tempatnya
  4. Lampiran I.5:Surat Permintaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
  5. Lampiran I.6: Surat Pemberitahuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan
    Disampaikan Tidak pada Tempatnya
  6. Lampiran II.2: Surat Penerusan Berkas Keberatan
  7. Lampiran II.3: Surat Permintaan Kelengkapan Berkas Keberatan
  8. Lampiran II.4: Surat Permintaan Bukti Sebagai Wakil Wajib Pajak
  9. Lampiran III.2: Surat Pemberitahuan Penerimaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
  10. Lampiran III.4: Surat Tugas Peninjauan Lapangan dalam Rangka Penelitian Keberatan
  11. Lampiran III.5: Surat Pemberitahuan Peninjauan Lapangan Dalam Rangka Penelitian Keberatan
  12. Lampiran III.7: Surat Permintaan Keterangan atau Bukti
  13. Lampiran III.8: Undangan Pembahasan dan Klarifikasi Sengketa Perpajakan
  14. Lampiran III.14: Surat Pemberitahuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan Tidak
    Memenuhi Persyaratan

Dari data diatas, Surat ke Wajib Pajak,

  1. Lampiran I.1: Surat Pemberitahuan Surat Keberatan Disampaikan Tidak pada Tempatnya
  2. Lampiran I.5:Surat Permintaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
  3. Lampiran I.6: Surat Pemberitahuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan
    Disampaikan Tidak pada Tempatnya
  4. Lampiran II.3: Surat Permintaan Kelengkapan Berkas Keberatan
  5. Lampiran II.4: Surat Permintaan Bukti Sebagai Wakil Wajib Pajak
  6. Lampiran III.2: Surat Pemberitahuan Penerimaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
  7. Lampiran III.4: Surat Tugas Peninjauan Lapangan dalam Rangka Penelitian Keberatan
  8. Lampiran III.5: Surat Pemberitahuan Peninjauan Lapangan Dalam Rangka Penelitian Keberatan
  9. Lampiran III.7: Surat Permintaan Keterangan atau Bukti
  10. Lampiran III.8: Undangan Pembahasan dan Klarifikasi Sengketa Perpajakan
  11. Lampiran III.14: Surat Pemberitahuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan Tidak
    Memenuhi Persyaratan

Form Keberatan


Lampiran I.1: Surat Pemberitahuan Surat Keberatan Disampaikan Tidak pada Tempatnya

Lampiran I.2: Daftar Dokumen Lampiran Surat Keberatan

Lampiran I.3: Lembar Pengawasan Penelitian Berkas Keberatan
Lampiran I.4: Lembar Isian Kelengkapan Berkas yang akan Dikirimkan Ke Unit Pelaksana
Penelitian Keberatan
Lampiran I.5:Surat Permintaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
Lampiran I.6: Surat Pemberitahuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan
Disampaikan Tidak pada Tempatnya
Lampiran I.7:Laporan Pengiriman Berkas Keberatan dan Non Keberatan
Lampiran II.1: Surat Tugas
Lampiran II.2: Surat Penerusan Berkas Keberatan
Lampiran II.3: Surat Permintaan Kelengkapan Berkas Keberatan
Lampiran II.4: Surat Permintaan Bukti Sebagai Wakil Wajib Pajak
Lampiran II.5: Lembar Penelitian Pemenuhan Persyaratan Surat Keberatan
Lampiran III.1: Surat Permintaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
Lampiran III.2: Surat Pemberitahuan Penerimaan Data, Informasi, dan/atau Dokumen
Lampiran III.3: Matrik Sengketa Keberatan
Lampiran III.4: Surat Tugas Peninjauan Lapangan dalam Rangka Penelitian Keberatan
Lampiran III.5: Surat Pemberitahuan Peninjauan Lapangan Dalam Rangka Penelitian Keberatan
Lampiran III.6: Laporan Hasil Peninjauan Lapangan dalam rangka Penelitian Keberatan
Lampiran III.7: Surat Permintaan Keterangan atau Bukti
Lampiran III.8: Undangan Pembahasan dan Klarifikasi Sengketa Perpajakan
Lampiran III.9: Berita Acara Pembahasan dan Klarifikasi Sengketa Perpajakan
Lampiran III.10: Kertas Kerja Penelitian Keberatan
Lampiran III.11: Kertas Kerja Penelitian Keberatan (Alur Dokumen Dalam Proses Keberatan)
Lampiran III.12: Laporan Penelitian Keberatan
Lampiran III.13: Surat Tugas (Pengganti)
Lampiran III.14: Surat Pemberitahuan Permohonan Pencabutan Pengajuan Keberatan Tidak
Memenuhi Persyaratan
Lampiran III.15: Laporan Penelitian Pencabutan Pengajuan Keberatan
Lampiran III.16: Pengiriman Data Baru atau Data yang Semula Belum Terungkap Dalam Proses
Pemeriksaan
Lampiran III.17: Lembar Konfirmasi Penerimaan Surat Keputusan

lebih dekat dengan pasal 36(1a) KUP


kita kutip pasal 36 ayat 1 nya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: (a). mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.

Coba kita baca lagi.. Dijend Pajak karena

  • jabatan atau
  • atas permohonan Wajib Pajak dapat: (a).
    • mengurangkan atau
    • menghapuskan sanksi administrasi berupa
      • bunga,
      • denda, dan
      • kenaikan
  • yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena
    • kekhilafan Wajib Pajak atau
    • bukan karena kesalahannya.

Jadi kewenangan dirjen pajak untuk melakukan pengurangan/penghapusan itu bisa karena 2 sebab, jabatan dan permohonan Wajib Pajak. Beda kan dengan keberatan (pasal 25 KUP). Yang namanya keberatan pasti karena permohonan Wajib Pajak.

Yang dikurangi/dihapus adalah sanksi administrasi, jadi bukan pokok pajaknya. Kalau tidak setuju dengan pokok pajak, sarananya bukan pasal 36(1a) KUP. Sanksi administrasi disini adalah bunga, denda dan kenaikan. Loh semua sanksi administrasi bisa dong… tidak juga, sanksi administrasi berupa

  • denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan pasal 25 (9) dan
  • 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (pasal  27(5d)) KUP 

tidak bisa diajukan pengurangan/penghapusan dengan pasal 36(1a) KUP.

Pasal 36(1a) KUP ini sudah benar (secara peraturan berdasarkan penafsiran umum baik versi fiskus maupun Wajib Pajak). Namun Wajib Pajak mengingnkan dikurangi/dihapus karena:

  • kekhilafan Wajib Pajak atau
  • bukan karena kesalahannya

Tafsir khilap dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak tidak didefinisikan secara tertulis. karena beda daerah, beda zaman bisa beda penafsiran. Pada tahun 2015, Dirjen Pajak membuat terobosan dengan menerbitkan peraturan PMK 91 yang dikenal dengan Reinventing Policy yang membebaskan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT (pasal 7 KUP), pembetulan (pasal 8 ayat 2 dan 2a) dan keterlambatan penyetoran (Pasal 9 ayat 2a dan 2b). Pada surat internal berikutnya bahkan atas pasal 14(4) atas SPT yang dilakukan pada tahun 2015.

Atruan pelaksanaan yang lebih rinci atas pasal 36(1a) ini ada di PMK 8. saya pernah membahas sekilas di https://dedensaefudin.wordpress.com/2016/11/04/httpsdedensaefudin-wordpress-com20161103contoh-kasus-pmk-91/. Khususnya di PMK 8 pasal 4 sampai dengan 12.

Sanksi administrasi pasal 36(1a) KUP diklasifikasikan menjadi 3:

  1. sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPKB yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A KUP;
  2. sanksi administrasi yang tercantum dalam STP yang terkait dengan penerbitan SKP, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam STP yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) KUP; atau
  3. sanksi administrasi yang tercantum dalam STP selain STP sebagaimana dimaksud pada huruf b

Kalau baca diatas, maka semua sanksi bisa administrasi bisa dimintakan pengurangan/penghapusan pasal 36(1a) KUP  kecuali:

  • Pasal 13A KUP
  • Pasal 25 ayat (9) KUP
  • Pasal 27 ayat (5d) KUP

Sesuai pasal 5 PMK 8, permohonan pengurangan/penghapusan sesuai pasal 36(1a)hanya dapat diajukan dalam hal atas:

  1. tidak diajukan keberatan;
  2. diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
  3. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
  4. tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar (pasal 36 (1b) KUP);
  5. diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar (pasal 36 (1b) KUP), tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
  6. tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan (pasal 36 (1d) KUP);
  7. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan (pasal 36 (1d) KUP), tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
  8. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan (pasal 36 (1d) KUP),  tetapi permohonan tersebut ditolak.

Dalam ayat lainnya juga disebutkan tambahan, tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar (pasal 36(1c). Saya tidak mengerti kenapa ayatnya dipisah. Yang saya simpulkan, kalau mengajukan perngurangan/penghapusan sanksi sesuai pasal 36(1a) KUP, ya.. jangan mengajukan upaya hukum pasal 25, pasal 36 (1b), 36(1c) dan 36(1d).

Persyaratan pengurangan/penghapusan sanksi pasal 36(1a) KUP:

  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, kecuali permohonan tersebut diajukan untuk Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP, sepanjang terkait dengan surat ketetapan pajak yang sama maka 1 (satu) permohonan dapat diajukan untuk lebih dari satu Surat Tagihan Pajak;
  2. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. mengemukakan jumlah sanksi administrasi menurut Wajib Pajak dengan disertai alasan;
  4. permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
  5. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.

Syarat tambahan lain sesuai pasal 8 dan 10 PMK 8, pokok pajaknya sudah dibayar dan sanksinya belum dibayar.

Berapa jumlah sanksi administrasi yang dapat dikurangkan?..,

kalau kita lihat pasal 11, Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas STP Pasal 9 ayat (2a) KUP, Pasal 9 ayat (2b) KUP, dan Pasal 19 ayat (1) sehingga sanksi administrasi menjadi paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, diberikan untuk permohonan yang diajukan setelah tanggal 31 Desember 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013.

kita bisa membanginya menjadi 3 periode pengajuan

  1. sampai dengan 31 Desember 2011, ini sudah lama banget ga kita bahas..
  2. setelah tanggal 31 Desember 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, pengurangan menjadi paling lama 24  bulan
  3. setelah tanggal 31 Desember 2013, bisa kurang dari 24 bulan, ini dibahas di pasal 12,

Inilai isi pasal 12 PMK8, Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan. Supaya ga bingung dengan pasal-pasal tersebut, kita sebut saja

  • PMK 8 Pasal 5 ayat (1): Hak Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan
  • PMK 8 Pasal 8 ayat (1): STP atas pembetulan SPT
  • PMK 8 Pasal 9 ayat (1): STP atas terlambat setor
  • PMK 8 Pasal 10 ayat (1) : STP bunga penagihan

Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan dapat dilakukan apabila:

  • sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak;
  • jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
  • memenuhi kriteria yang dapat berupa:
    • Waib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang KUP
    • Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
    • Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya; atau
    • Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya.